
Rambu solo adalah sebuah upacara adat yang
mewajibkan keluarga almarhum membuat sebuah pesta sebagai tanda penghormatan
terakhir pada mendiang yang telah pergi. Dimana adat-istiadat ini telah diwarisi
secara turun-temurun.Uipacara ini bagi masing-masing golongan masyarakat
tentunya berbeda-beda.Bila kaum bangsawan yang meninggal dunia, maka jumlah
kerbau yang akan dipotong untuk keperluan acara jauh lebih banyak dibanding untuk mereka yang bukan
bangsawan.Untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau bisa berkisar dari 24 sampai
dengan 100 ekor kerbau. Sedangkan warga golongan menengah diharuskan
menyembelih 8 ekor kerbau ditambah denga 50 ekor babi dan lama upacara sekitar
3 hari. Tetapi, sebelum jumlah itu mencukupi jenazah tidak boleh dikuburkan di
tebing atau tempat tinggi. Makanya, tak jarang jenazah disiimpan selama
bertahun-tahun di tongkonan sampai akhir keluarga allmarhum/almarhumah dapat
menyiapkan hewan kurban.
Rambu
solo’ merupakan acara tradisi yang sangat meriah di Tana Toraja, karena memaka
waktu berhari-hari untuk merayakannya.Upacara ini biasanya diadakan pada siang
hari, saat matahari mulai condong ke barat dan biasanya membutuhkan waktu 2
sampai 3 hari. Bahkan bisa samapai 2 minggu untuk kaum bangsawan. Kuburan
sendiri dibuat di bagian atas tebing di
ketinggian bukit batu. Menurut kepercayaan Aluk
To Dolo ( Kepercayaan masyarakat
Tana Toraja dulu ) di kalangan orang Toraja, semakin tinggi tempat enazah tersebut diletakkan, maka akan cepat
pula rohnya sampai pada nirwana. Kepercayaan Aluk To Dolo pada hakikatnya berintikan pada dua hal, yaitu
pandangan pada kosmos dan kesetiaan pada leluhur. Masing-masing memiliki fungsi
dari pengaturannya dalam kehidupan masyarakat. Jika terjadi kesalahan dalam
pelaksanaannya, sebutlah seperti hal “mengurus dan merawat” arwah para leluhur,
bencana pun tak dapat dihindari.
Bagi
masyarakat Tana Toraja, orang yang sudah meninggal tidak dengan sendirinya mendapat
gelar orang mati. Bagi mereka sebelum terjadi upacara Rambu Solo’ maka orang yang menionggal tersebut masih dianggap
sakit. Karena status yang masih “sakit”, maka orang yang sudah meninggal
tersebut harus dirawat dan diperlakukan layaknya orang yang masih hidup,
seperti menemaninya, menyediakan,
minimun, rokok dan sirih. Hal-hal yang biasanya dilakukan oleh arwah harus
dijalankan seperti biasanya.

Suasana berkabung memang terasa dengan
banyaknya orang yang berbaju hitam. Namun, suasana tersebut berubah seketika
saat kebaktian yang dipimpin oleh pemuka agama selesai. Teriakan angka’mi itu seperti menjadii titik
balik suasana.
Jenazah dipindahkan dari rumah duka menuju
tongkonan pertama (Tongkonan Tammon) yaitu tongkonan dimana ia berasal. Disana
dilakukan penyembelihan 1 ekor kerbau sebagai kurban dalam bahasa Torajanya Ma’tinggoro Tedong, yaitu cara penyembelihan khas orang Toraja, menebas kurban
dengan sekali tebas saj. Kerbau yang akan diembelih ditambattkan pada sebuah
batu yang diberi nama Simbuang Batu. Setelah itu, kerbau tadi potong-potong dan
dagingnyadibagi-bagikan kepada mereka yang hadir.
Jenazah yang berada di tongkonan pertama (Tongkonan
Tammon) hanya sehari, lalu keesokan harinya jenazah dipindahkan lagi ke Tongkonan yang berada agak ke atas lagi, yaitu Tongkonan Barebatu, dan disini pun prosesi pun sama dengan di Tongkonan pertama, yaitu menyembelih
kerbau yang kemudian akan dibagi-bagikan kepada mereka yang hadir.
Jenazah diusung menggunakan duba-duba (Keranda khas Toraja). Di depan duba-duba
( merah yang panjang, biasanya terletak di depan keranda jenazah, dan dalam
prosees mengarakan, kain tersebut ditarik oleh para wanita dalam keluarga itu).
Prosesi pengarakan jenazah dari Tongkonan
Barebatu menuju Rante dilakukan
setelah kebaktian dan makan siang. Barulah keluarga dekat almarhum/almarhunah
ikut mengusung keranda tersebut. Para lelaki yang mengangkat Keranda tersebut, sedangkan wanita yang
menarik lamba-lamba. Dalam pengarakan
tersebut ada urut-urutan yang harus dilakukan, pada urutan pertama ada orang
yang membawa gong besar, lalu diikuti oleh orang yang membawa Tompi Saratu ada barisan tedong (kerbau) diikuti lamba-lamba dan yang terakhir barulah duba-duba.
Jenazah akan disemayamkan di Rante (lapangan khusus tempat prosesi
berlangsung). Disana sudah berdiri lantang
(rumah sementara yang terbuat dari bambu dan kayu) yang sudah diberi nomor. Lantang itu sendiri berfungsi sebagai
tempat tinggal sanak- saudara yang datang nanti. Karena selama acara nanti
mereka semua tidak kembali ke rumah masing-masing tetapi menginap di lantang yang telah disediakan oleh
keluarga yang berduka.
Iring-iringan jenazah akhirnya sampai di Rante yang nantinya akan diletakkan Lakkien (menara tempat disemayankannya
jenazahselama prosesi berlangsung). Menara ini merupakan bangunan yang paling
tinggi diantara lantang-lantang yang
ada di Rante. Lakkien sendiri terbuat
dari pohon bambu dengan bentuk rumah adat Toraja. Jenazah dibaringkan di Lakkien
sebelumnya nanti akan dikubur. Di Rante s
Dah siap 2 ekor kerbau yang akan di tebas.
Setelah
jenazah sampai di Lakkien, acara
selanjutnya adalah penerimaan tamu, yaitu sanak saudara yang datang dari
penjuru tanah air. Pada sore hari setelah prosesi penerimaan tamu selesai,
dilanjutkan dengan hiburan bagi para keluarga dan tamu undangan yang datang,
dengan mempertontonkan ma’pasilaga tedong
(adu kerbau). Bukan main ramainya para penonton, karena selama upacara Rambu Solo’ , adu hewan mamalia ini merupakan acara yang
ditunggu-tunggu.
Selama
beberapa hari ke depan penerimaan tamu dan adu kerbau merupakan agenda acara
berikutnya. Penerimaan tamu dilakukan sampai semua tamu-tamunya berada di
tempat yang sudah disediakan yaitu lantang
yang berada di Rante. Sore
harinya selalu diadakan adu kerbau,
hal ini merupakan hiburan yang digemari orang-orang Tana Toraja hingga sampai
hari ini. Penguburan , baik yang dikuburkan di tebing maupun di Patane’ (kuburan dari kayu berbentuk rumah adat).
Bisa
dimaklumi bila dalam setiap upacara kematian di Tana Toraja pihak keluarga dan
kerabat almarhum berusaha untuk memberikan yang terbaik. Caranya adalah dengan
membekali jiwa yang akan berpergian itu dengan pemotongan hewan biasanya berupa
kerbau dan babi sebanyak mungkin. Para penganut kepercayaan Aluk Todolo percaya bahwa roh binatang
yang dikorbankan dalam upacara kematian
tersebut akan mengikuti arwah orang yang meninggal dunia tadi menuju ke Puyo (dunia arwah, tempat berkumpulnya
semua roh).

Upacara Rambu
Solo’ trbagi dalam bebrapa tingkatan
yang mengacu pada strategi sosial masyarakat Toraja, yaitu Dipasang Bongi merupakan acara yang pemakaman yang dilaksanakan
dalam satu malam; Dipatallung Bongi merupakan
acara pemakaman yang dilangsungkan selama
tiga malam dan dilaksanakan di rumah almarhum serta dilakukan pemotongan
hewan; Dipalimang Bongi merupakan
upacara pemakaman yang berlangsung selama lima malam dan dilaksanakan sekitar
rumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan; Dipapitung Bongi merupakan
upacra pemakaman yang berlangsung selama tujuh malam yang setiap harinya dan
dilakukan pemotongan hewan.

Biasanya upacara tertinggi dilaksanakan dua kali denga rentang waktu
sekurang –kurangnya setahun, upacara
yang pertama disebut aluk Pia biasanya
dalam pelaksanaannya bertempat disekitar
Tongkonan keluarga yang berduka, sedangkan upacara kedua yakni upacara Rante biasanya dilaksanakan disebuah
lapangan khusus karena upacara yang menjadi puncak dari prosesi pemakaman ini
biasanya ditemui berbagai ritual adat yang harus dijalani, seperti : Ma’tunda, Ma’balun (membungkus jenazah),
Ma’roto (membubuhkan ornamen dari
benang emas dan perak pada peti jenazah), Ma’parokko
Alang (menurunkan jenazah ke lumbung untuk disemayamkan), dan yang terakhir
Ma’palao (yakni mengusung jenazah ke
tempat peristirahatan yang terakhir).
Referensi :
Rotua Tresna
Nurhayati Manurung: Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo’ 2009. USU
Repository ©2009