Selasa, 06 November 2012

Ilmu Budaya Dasar Pada Muatan Lokal




Ilmu Budaya Dasar Pada Muatan Lokal

Pengantar
Pendidikan merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Oleh sebab itu pendidikan memerlukan penanganan yang sangat serius dari pemerintah. Melalui tujuan pendidikan nasional yang terdapat dalam Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional, pemerintah berupaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia yang seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggungjawab kemasyarakat dan kebangsaan.
Untuk mencapai tujuan tersebut, banyak hal yang saling berkaitan selain komponen-komponen yang memang terdapat dalam sistem pendidikan itu sendiri. Salah satu komponen penting untuk mencapai tujuan pendidikan nasional adalah komponen ilmu budaya dasar. Masalah-masalah yang berhubungan dengan ilmu budaya dasar semestinya mendapat perhatian yang serius dari pemerintah.
Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional adalah dengan diberlakukannya ilmu budaya dasar muatan lokal pada jenjang pendidikan dasar. Ilmu budaya dasar muatan lokal ini berkaitan dengan pemenuhan kepentingan nasional dan daerah.
Beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar dalam penerapan muatan lokal pada jenjang pendidikan dasar ini adalah:
·         Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang memiliki keunikan tersendiri, dan perlu dilestarikan, serta diperkenalkan kepada peserta didik.
·         Model pengembangan ilmu budaya dasar yang bersifat sentralistik sudah tidak dapat dipertahankan lagi.
·         Standar yang sama untuk semua sekolah di seluruh wilayah Indonesia tidak dapat digunakan lagi karena hasilnya menunjukkan adanya perbedaan yang sangat ekstrem. Selain itu juga, ilmu budaya dasar yang diberlakukan sama untuk semua siswa pada semua daerah di seluruh Indonesia akan menjauhkan mereka dari lingkungan alam, sosial, budaya, dan pola kehidupan masyarakat sehari-hari dimana mereka dibesarkan.
·         Kenyataan bahwa sekolah-sekolah di daerah belum mempersiapkan siswanya untuk terjun ke kehidupan yang terjadi di sekelilingnya.

Selain meningkatkan kualitas sumber daya manusia, pendidikan dapat mengubah manusia dalam pikiran, perasaan, dan perbuatannya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pendidikan mempunyai peranan dalam mengubah masyarakat dan memberi corak baru kepada masyarakat dan kebudayaan.
Dalam hubungannya dengan ilmu budaya dasar muatan lokal yang isi dan media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial dan budaya, serta kebutuhan daerah, maka peranan pendidikan dalam memperbaiki keadaan masyarakat sangat besar. Oleh sebab itu ilmu budaya dasar muatan lokal ini memerlukan penanganan yang sangat seius dari berbagai pihak terkait.
Muatan lokal dalam ilmu budaya dasar SD (1987) bertujuan untuk: memudahkan siswa dalam menyerap materi pelajaran; memanfaatkan sumber belajar di daerah; mengenalkan siswa terhadap kondisi daerah; meningkatkan pengetahuan siswa mengenai daerahnya; membantu siswa dan orang-tuanya dalam memenuhi kebutuhan hidup; memecahkan masalah yang terjadi di sekeliling siswa; dan mengakrabkan siswa dengan lingkungannya.
Sedangkan Fuad Hasan (1987) menyatakan bahwa selain dimaksudkan untuk mempertahankan pelestarian kebudayaan daerah, muatan lokal juga ditujukan pada usaha pembaharuan atau modernisasi yang berkenaan dengan keterampilan dan kejuruan setempat, disesuaikan dengan perkembangan ilmu dan teknologi.
Dengan menerapkan muatan lokal dalam ilmu budaya dasar SD, diharapkan siswa akan mampu mengembangkan serta melestarikan sumber daya alam, meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan kebudayaan daerah. Semua hal tersebut diharapkan akan dapat memacu pembangunan daerah sesuai dengan karakteristiknya, dan selanjutnya menunjang kemajuan pembangunan nasional.
Bila melihat tujuan muatan lokal dalam ilmu budaya dasar SD tersebut, sebenarnya konsep muatan lokal ini dipengaruhi oleh beberapa teori pengembangan ilmu budaya dasar, diantaranya adalah konsep ilmu budaya dasar rekonstruksi sosial yang memandang bahwa pendidikan adalah alat untuk rekonstruksi sosial yang paling efektif; konsep ilmu budaya dasar transformasi yang melihat ilmu budaya dasar sebagai alat transmisi kebudayaan; serta model pengembangan ilmu budaya dasar yang berfokus pengguna.

Ilmu budaya dasar rekonstruksi sosial memusatkan perhatiannya pada masalah-masalah sosial yang dihadapi masyarakat dan mengharapkan agar siswa dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat dengan pengetahuan dan konsep-konsep yang telah diketahui. Dengan dilandasi pandangan aliran interaksional, ilmu budaya dasar rekonstruksi soaial mengharapkan siswa dapat berinteraksi, bekerjasama dengan guru, siswa lain, maupun sumber-sumber belajar yang tersedia, untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam masyarakat menuju pembentukan masyarakat yang lebih baik.
Tujuan awal dari ilmu budaya dasar rekonstruksi sosial adalah mempertemukan siswa dengan berbagai masalah yang ada di masyarakat. Masalah ini tidak hanya masalah dalam bidang sosial tetapi berkaitan juga dengan masalah dalam bidang ekonomi, kimia, matematika, dan lain-lain.
Tujuan lain dari ilmu budaya dasar rekonstruksi sosial adalah mengidentifikasi masalah metode, kebutuhan dan tujuan ilmu pengetahuan dan seni, menilai hubungan manusia dan mengenali sikap-sikap dan strategi bagi perubahan yang diinginkan.
Pembelajaran rekonstruksi sosial banyak dilaksanakan di daerah-daerah yang tergolong belum maju dan tingkat ekonominya. Pelaksanaan pembelajaran ini diarahkan untuk meningkatkan kondisi kehidupan di daerah tersebut. Sekolah dalam hal ini harus berupaya untuk mempelajari potensi-potensi yang ada dalam masyarakat, dan membantu mengembangkan potensi tersebut. Oleh sebab itu isi ilmu budaya dasar rekonstruksi sosial difokuskan pada penggalian sumber-sumber alam dan non-alam, termasuk budaya serta masalah-masalah yang ada dalam masyarakat.
Pandangan rekonstruksi sosial berkembang karena keyakinannya pada kemampuan manusia untuk membangun masyarakat yang lebih baik, juga pada penekanannya tentang peranan ilmu dalam memecahkan masalah-masalah sosial.
Meskipun demikian, kritik terhadap pandangan ini juga tidak sedikit. Beberapa kritikus menilai bahwa rekonstruksi sosial sukar untuk diterapkan secara langsung dalam ilmu budaya dasar pendidikan. Hal ini disebabkan karena interpretasi para ahli tentang perkembangan dan masalah-masalah sosial juga berbeda. Begitu juga dengan kemampuan masyarakat untuk turut serta dalam pemecahan masalah.

Mulai tahun 1970-an, kecenderungan arah pengembangan ilmu budaya dasar mulai berubah. Pada waktu ini mulai dirasakan perlunya melibatkan sekolah, masyarakat, orang tua, guru, dan beberapa pihak lain dalam pengembangan ilmu budaya dasar. Salah satu pertanyaan yang muncul dalam periode ini adalah: "Sejauh mana sekolah diberi kebebasan dalam pengembangan ilmu budaya dasar?" Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus mulai dari tujuan diberlakukannya ilmu budaya dasar muatan lokal.
Ilmu budaya dasar muatan lokal merupakan bagian dari ilmu budaya dasar nasional. Dimasukkannya muatan lokal dalam ilmu budaya dasar nasional adalah untuk menyelaraskan apa yang diberikan kepada siswa dengan kebutuhan dan kondisi yang ada di daerahnya; mengoptimalkan potensi dan sumber belajar yang ada di sekitarnya bagi kepentingan siswa; menumbuhkan dan mengembangkan minat, perhatian siswa sesuai dengan kebutuhan yang ada di sekitarnya; memperkenalkan dan menanamkan kehidupan sosial budaya serta nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di masyarakat pada siswa sedini mungkin (Sudjana:1989).
Sejalan dengan pernyataan tersebut, maka agar dapat diintegrasikan ke dalam ilmu budaya dasar nasional, muatan lokal harus memenuhi persyaratan berikut (Sudjana, 1989):
1.     kekhasan lingkungan alam, lingkungan sosial budaya daerahnya;
2.     menunjang kepentingan pembangunan daerahnya dan pembangunan nasional pada umumnya;
3.     sesuai dengan kemampuan, minat, sikap, dan perhatian siswa;
4.     didukung oleh pemerintah daerah setempat dan atau oleh masyarakat, baik dari segi program, dana, sarana, maupun fasilitas;
5.     tersedia tenaga pengelola pelaksanaan serta sumber-sumber lain sehingga dapat dilaksanakan di sekolah;
6.     dapat dilaksanakan, dibina, dikembangkan secara berkelanjutan, baik oleh pengelola tingkat nasional maupun tingkat daerah;
7.     sesuai dan selaras dengan kemajuan dan inovasi pendidikan, kebutuhan masyarakat, minat dan kebutuhan siswa, serta masyarakat pada umumnya.
Hal yang kemudian menjadi permasalahan adalah, apakah bahan pengajaran muatan lokal sudah tercantum dalam GBPP yang (pada kenyataannya) sudah disusun secara nasional?
Agar tujuan diberlakukannya muatan lokal dapat terlaksana, maka sekolah tidak perlu menyusun GBPP baru, tetapi bahan-bahan pengajaran, alat dan sarana instruksional yang sesuai dengan lingkungan budayanya dapat disiapkan sendiri oleh sekolah tersebut. Bahan-bahan tersebut kemudian disampaikan kepada siswa pada saat membahas pokok bahasan bidang studi berdasarkan GBPP yang telah ditentukan.
Bagaimana sekolah dapat mengidentifikasi unsur-unsur muatan lokal yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat? Menurut Freire(1977), langkah-langkah yang harus ditempuh adalah sebagai berikut:
1.     Tim pendidik bersama masyarakat menentukan tema umum yang dirasa penting, misalnya budaya daerah, keterbelakangan, atau bahasa daerah.
2.     Berdasarkan tema yang dipilih, sejumlah ahli bidang pendidikan, dibantu oleh wakil dari masyarakat, melalui dialog yang kooperatif, mengembangkan ilmu budaya dasar (muatan lokal), dan menentukan sumber belajar yang akan digunakan.
Mulyani Sumantri (1988) juga menyatakan bahwa dalam pengembangan ilmu budaya dasar, sebaiknya dilibatkan pula beberapa anggota masyarakat tertentu, orang tua, guru, bahkan siswa sendiri. Oleh sebab itu sebenarnya proses mengidentifikasi unsur-unsur muatan lokal memerlukan pemikiran dari berbagai pihak terkait, tenaga, waktu, biaya, serta sarana yang cukup memadai.
Dari segi langkah kerjanya, proses pengidentifikasian program pendidikan ini harus melalui 8 langkah, seperti yang dikemukakan oleh Lehmann (1978) berikut ini:
1.     merumuskan kebutuhan;
2.     merumuskan tujuan;
3.     mengidentifikasi kendala-kendala;
4.     mengidentifikasi alternatif pemecahan masalah;
5.     melakukan pemilihan cara pemecahan masalah;
6.     implementasi;
7.     evaluasi;
8.     modifikasi.
Dalam buku petunjuk penerapan muatan lokal yang dikeluarkan oleh Depdikbud (1987)
dikemukakan langkah-langkah penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar sebagai berikut:
a.     menentukan dan menggunakan fakta-fakta yang ada di daerah berkaitan dengan bahan pengajaran suatu pokok bahasan yang ada dalam GBPP
b.     menentukaan dan menerapkan suatu prinsip atau generalisasi untuk menjelaskan kejadian alamiah atau kejadian tiruan, memecahkan masalah dalam hidup sehari-hari, atau meningkatkan budaya masyarakat setempat
c.     mengidentifikasi kondisi alam, kondisi sosial dan budaya yang khas daerah setempat yang perlu dilestarikan dan dikembangkan, serta dimasukkan sebagai program sekolah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar