Petruk Mencari Jati Diri 1
Sudah berabad-abad Petruk menyaksikan perubahan jaman.
Berjuta-juta tingkah-polah manusia dia saksikan.
Ratusan generasi sudah dia lalui. Tetap saja dia tak bisa paham sepenuhnya
bagaimana jalan fikiran makhluk yang bernama manusia.
Sebagai
salah satu punakawan. Petruk sudah mengabdi kepada puluhan”ndoro” (tuan), sejak
jaman Wisnu pertama kali menitis ke dunia. Hingga saat Wisnu menitis sebagai
Arjuna Sasrabahu, menitis lagi sebagai Rama Wijaya, menitis lagi sebagai Sri
Kresna.
Petruk
hanya bisa tersenyum kadang tertawa geli, dan sesekali melancarkan nota protes
akan kelakuan “ndoro-ndoro” (tuan-tuan)-nya yang sering kali tak bisa diterima
nalar. Tapi ya memang hanya itu peran Petruk di mayapada ini. Dia tidak punya
wewenang lebih dari itu. Meskipun sebenarnya kesaktian Petruk tidak akan mampu
ditandingi oleh tuannya yang manapun juga.
Berbeda
dengan Gareng yang meledak-ledak dalam menanggapi kegilaan mayapada, berbeda
pula dengan Bagong yang sok cuek dan selalu mengabaikan tatakrama. Petruk
berusaha lebih realistis dalam menyikapi segala sesuatu yang terjadi. Meskipun
nyeri dadanya acapkali muncul saat melihat kejadian-kejadian hasil rekayasa
ndoro-ndoro nya.
Siang
itu Petruk sedang membelah kayu bakar, guna keperluan memasak isterinya. Sudah
seminggu lebih pasokan elpiji murah dan minyak tanah tak sampai ke desanya.
Di
desa Karang Kedempel jaman kontemporer seperti saat ini apapun bisa saja
terjadi. Harga beras yang tiba-tiba melonjak melebihi harga anggur Amerika.
Minyak goreng yang mendadak menguap di pasaran. Bahkan beberapa dekade yang
lalu, orang-orang yang suka protes pun bisa saja mendadak lenyap tanpa bekas.
Dan semua pasti akan ditanggapi oleh penguasa Karang Kedempel dengan
mengeluarkan “press release”sebagai sebuah “dinamika pembangunan”
Kelangkaan
bahan bakar di pasaran, melonjaknya harga sembako, mahalnya biaya pendidikan.
Yang berujung pada melebarnya jurang perbedaan kaya-miskin. Adalah hal yang
selalu saja terjadi dari jaman ke jaman. Keadaan masyarakat yang “gemah ripah
loh jinawi toto tentrem kerto tur raharjo” hanyalah sebuah utopia. Yang sering
dikatakan kyai-kyai di langgar-langgar dan surau negara yang “baldatun
thoyyibatun wa robbun gofuur ” hanyalah sekedar lips service semata.
Seperti
yang sudah diduga oleh Petruk, Kang Gareng pasti memberikan reaksi dengan
caranya sendiri. Hari ini adalah hari ketiga Gareng berorasi di depan
Poskamling, sejak pagi hingga matahari hampir tenggelam. Berusaha menarik
perhatian semua warga desa.
“Saudara-saudaraku,
mengapa semua ini bisa terjadi?” dengan cengkok khas ala Kang Gareng. “Desa
kita ini sedang mengalami degradasi moral dan dekadensi kepribadian. Kebijakan
pamong desa kita tidak terarah dan miskin inovasi.”
“Seharusnya
kita mulai introspeksi, mengevaluasi situasi dan berani melakukan redifinisi.
Sehingga kita bisa meberikan sebuah revitalisasi menuju suatu solusi definitif,
guna mendapatkan outcome terbaik dari apa yang kita harapkan”, bagaikan orang
kesurupan Gareng berorasi tanpa henti. Tak perduli apakah orang-orang yang
berkumpul mengerti apa yang diomongkannya.
Petruk
tak habis pikir, dari mana Gareng mendapatkan perbendaharaan kata dan kalimat
yang tak ubahnya anggota DPR. Padahal Gareng tidak pernah “makan” bangku
sekolahan. Memang orang pintar tidak selalu terkenal dan orang terkenal tidak
selalu pintar, tapi Petruk tahu persis bahwa Gareng tidak termasuk diantara
keduanya.
Petruk
sudah hafal betul dengan model paham kekuasaan di Karang Kedempel dari waktu ke
waktu. Kalau mau, sebenarnya bisa saja Petruk mengamuk dan menghajar siapa saja
yang dianggap bertanggung jawab atas kesemrawutan pemerintahan. Dengan
kesaktiannya, apa yang tak bisa dilakukan Petruk, bahkan (dulu) pernah terjadi,
Sri Kresna hampir saja musnah menjadi debu dihajar anak Kyai Semar ini.
Tapi
Petruk sudah memutuskan untuk mengambil posisi sebagai punakawan yang resmi.
Dia sudah bertekat tidak lagi mengambil tindakan konyol seperti yang dulu
sering dia lakukan. Baginya, kemuliaan seseorang tidak terletak pada status
sosial. Pengabdian tidak harus dengan menempati posisi tertentu.
Seperti
yang terjadi pada episode “Petruk Dadi Ratu” contohnya, sebagai Prabu
Kanthong Bolong, Petruk dia melabrak semua tatanan yang sudah terlanjur menjadi
“main stream” model kekuasaan di mayapada. Dia menjungkirbalikkan anggapan
umum, bahwa penguasa boleh bertindak semaunya, bahwa raja punya hak penuh untuk
berlaku adil atapun tidak.
Karuan
saja, Ulah Prabu Kanthong Bolong membuat resah raja-raja lain. Bahkan,
kahyangan Junggring Saloka pun ikut-ikutan gelisah. Kawah Candradimuka mendidih
perlambang adanya “ontran-ontran” yang membahayakan kekuasaan para dewa.
Maka
secara aklamasi disepakati, skenario “mengeliminir” raja biang keresahan.
Persekutuan raja dan dewa dibentuk, guna melenyapkan suara sumbang yang mengganggu
alunan irama yang sudah terlanjur dianggap indah.
Hasilnya?
Ibarat jauh panggang dari api.
Bukannya
Kanthong Bolong yang mati. Tapi raja jadi-jadian Petruk ini malah mengamuk.
Siapapun yang mendekat dihajarnya habis-habisan. Kresna dan Baladewa dibuat babak
belur. Batara Guru sang penguasa kahyangan lari terbirit-birit.
Kesaktian
dan semua ajian milik dewa-dewa dan raja-raja, seperti tak ada artinya
menghadapi Kanthong Bolong. Tahta Jungring Saloka pun dikuasai raja murka ini.
Keadaan
semakin semrawut. Sampai akhirnya Semar Bodronoyo turun tangan.
“Ngger,
Petruk anakku!”, Semar berujar pelan, suaranya serak dan berat seperti
biasanya. “Jangan kau kira aku tidak mengenalimu, ngger!”
“Apa
yang sudah kau lakukan, thole? Apa yang kau inginkan? Apakah kamu merasa hina
menjadi kawulo alit? Apakah kamu merasa lebih mulia bila menjadi raja? “
“Sadarlah
ngger, jadilah dirimu sendiri“.
Kanthong
Bolong yang gagah dan tampan, berubah seketika menjadi Petruk (yang semua orang
tahu, dia sangat jelek). Berlutut dihadapan Semar. Dan Episode “Petruk Dadi
Ratu” pun berakhir anti klimaks.
Petruk
tersenyum mengingat peristiwa itu. “Ah… hanya Hyang Widi yang perlu tahu apa
isi hatiku, selain Dia aku tak perduli”
Kembali
dia mengayunkan “pecok”nya membelah kayu bakar. Sambil bersenandung tembang
pangkur:
“Mingkar-mingkuring
angkoro, akarono karanan mardisiwi, sinawung resmining kidung, sinubo
sinukarto….”
Memang
tidak mudah jadi seorang Petruk…
Penghubungan Tokoh Petruk terhadap Seorang Jokowi
Tokoh Petruk yang begitu sederhana dan selalu rendah
hati seperti yang tersirat pada cerita diatas membuat saya teringat akan
seorang Gubernur yang sangat sederhana yaitu Joko Widodo. Walaupun memiliki
power yang lebih tetapi kesederhanaan , kerendah hati serta kepedulian pada
wong cilik tidaklah diragukan lagi. Seorang yang sangat patut untuk di contohi
oleh kebanyak orang di saat kondisi Negara kita sibuk dengan kata korupsi. Muncul
sebuah sosok yang begitu sederhana dan jiwa yang begitu kepada rakyat kecil
serta tekad membawa perubahan tanpa harus menunggu lama. Namun semuanya itu
tidak dipamerkan hanya dibuktikan melalui program yang berjalan tidak hanya
janji-janji semata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar